Rabu, 09 September 2015

Budi Laksono,Dokter "Jamban" dari Semarang :Gencar Kampanye hingga ke Dusun-Dusun

Harian Suara Merdeka tanggal 9 September 2015


Click Here
SM/Muhammad Syukron Budi Laksono
SM/Muhammad Syukron
Budi Laksono
Penyakit saluran pencernaan merupakan salah satu penyebab kematian. Namun, hal itu dapat dicegah. Seorang dokter di Semarang, Budi Laksono, beruapaya memutus mata rantai penyakit itu melalui program jambanisasi.
PENAMPILAN Budi Laksono saat tugas maupun kerja sosial nampak sederhana. Pria kelahiran Semarang, 6 Maret 1964 itu, kini tak hanya dikenal di kalangan akademisi dan pemerintah, namun juga masyarakat di dusun-dusun di Kota Semarang dan sekitarnya. Bapak empat anak itu gencar mengkampanyekan program jambanisasi keluarga di kabupaten/kota di Jawa Tengah sejak 1997 itu. Hal itu diawali sejak dia bertugas di Puskesmas Kedungwuni 2, Kabupaten Pekalongan.
Saat itu, dia heran karena masyarakat setempat mengalami gangguan saluran pencernaan, seperti diare, desentri, tifus, gangguan saluran usus, dan hepatitis A. Padahal, penyakit tersebut merupakan salah satu penyebab utama kematian. ‘’Setelah saya telusuri, ternyata hanya 9,1 persen keluarga yang memiliki jamban. Alasan mereka, faktor ekonomi karena tidak mampu, tidak memiliki lahan, dan biayanya mahal. Bahkan, sebagian masyarakat menganggap, keluarga yang memiliki jamban hanyalah orang mampu,’’ tutur Budi yang juga pengurus Yayasan Wahana Bakti Sejahtera dan anggota Komite Kesehatan Kota Semarang Selain itu, kata Presiden Rotary Club Semarang itu, program jambanisasi yang pernah dibuat pemerintah setempat pun gagal.
Pasalnya, secara teknologi tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, yakni air tidak tersedia dengan cukup, serta kesadaran kepemilikan jamban yang belum muncul. Mulai saat itulah, suami dari Sri Peni Hernawati (47) itu membuat ide program jambanisasi yang murah sehingga terjangkau oleh masyarakat. Disposal Amphibian Latrine (DAL) atau toilet amfibi disposal, demikian ia menyebutnya. DAL adalah toilet yang dibuat dengan cepat (dua jam bisa jadi dan dipakai, serta hanya 30 menit untuk menutup tanpa bekas), murah (biaya kurang dari Rp 200 ribu). Bahkan bisa murah lagi bila tenaganya adalah sukarelawan. Mudah karena bisa dibuat oleh orang awam. Tidak memakai semen dan seng, serta dibuat dengan alat yang ada di rumah. ‘’Caranya, buat lubang panjang dalam tanah berukuran 4 meter, lebar 0,8 meter, dengan kedalaman minimal 1 meter. Potong bambu 1,2 meter dan letakkan di atasnya. Potong plastik dengan ukuran sepanjang lubangnya. Tutup dengan papan sebagai lantai dan landasan toilet. Buat ruang toilet dengan plastik. Plastik bisa dipakai molsa atau plastik lembaran 0,4. Buat juga pintu dari plastik,’’ katanya. Untuk penggunaannya, kata dia, tempatkan kloset bila air cukup dan rajin-rajin membersihkan toilet. Bila tidak ada air, maka ambil keluar kloset dan pergunakan langsung, seperti WC cemplung. Karena plastik berfungsi mencegah angin dan serangga. Bambu yang digunakan untuk alas kloset juga bisa diganti dengan cor pasir dan semen. ‘’Pada 1997, cukup dengan Rp 36 ribu. Seiring dengan kenaikan harga bahan bangunan, untuk membuat jamban sekarang ini butuh biaya sekitar Rp 180 ribu. Hanya dengan Rp 180 ribu, masyarakat sudah bisa terhindar dari penyakit saluran pencernaan,’’ ujar dosen luar biasa Universitas Diponegoro dan dosen luar biasa di Universitas Griffith Australia ini.
Saat kembali ke Semarang, Budi juga menemukan beberapa warga yang terkena penyakit saluran pencernaan di Kelurahan Cepoko, Kecamatan Gunungpati, karena kebiasaan mereka buang air besar (BAB) di sungai. ‘’Di kelurahan itu, selain BAB di sungai, 90 persen air sumur milik warga juga mengandung ekoli di atas 60 persen. Hal itu yang membuat warga terkena penyakit pencernaan. Karena kebiasaan BAB tidak pada tempatnya itulah kemudian saya membuat program jambanisasi lagi,’’ ujarnya. Program Kampung Sehat Total Jamban Keluarga (Katajaga) dia dilakukan atas dukungan Rotary International dan Yayasan Wahana Bhakti Sejahtera (YWBS). Gerakan itu pun akhirnya membuahkan hasil. Melalui pendekatan sosial dan agama, masyarakat mulai sadar akan pentingnya BAB tidak di sembarang tempat. Masuk Muri Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) pada Oktober 2011 pun memberinya penghargaan khusus kepadanya sebagai pegiat jamban keluarga dengan sistem total keluarga dan partisipasi rakyat pertama di Indonesia. ‘’Sekarang, warga di 14 dusun di Kecamatan Gunungpati, Mijen, dan Ngaliyan sudah memiliki jamban semua dan 99 persen warga tidak lagi BAB ke sungai,’’ katanya.
Budi juga menyebutkan, setiap tahun 165.000 orang meninggal akibat penyakit yang terkait dengan sanitasi yang buruk. Ia tak ingin Ibu Kota Jawa Tengah itu ikut menyumbang angka kematian tersebut. Apalagi, kematian itu banyak dialami balita. ‘’Hal ini karena sekitar 20 juta keluarga di Indonesia belum punya jamban keluarga,’’ kata Budi yang membuat tesis tentang jamban amfibi untuk program pascasarjana di Queensland University of Technology Australia itu. Dalam penelitiannya setahun lalu, jumlah penderita diare menurun di kampung yang telah dipasangi jamban massal. Dia menuturkan, sejak bergerak pada 2004 hingga kini, telah dibangun setidaknya 1.500 jamban keluarga di berbagai daerah di Semarang. Tahun lalu, terjalin kerja sama lima instansi untuk membangun 2.000 jamban keluarga di Kecamatan Mijen dan Gunungpati. Lima lembaga itu adalah Universitas Griffith Australia, Universitas Diponegoro, Yayasan Wahana Bakti Sejaktera, Rotary Club, dan Pemkot Semarang.
Yayasan Damandiri bersama Program KKN Tematik 12 Universitas di Jateng juga punya program serupa, yakni membangun 2.000 jamban keluarga di berbagai kabupaten. Tak hanya di Semarang dan Jawa Tengah, Budi juga getol menyuarakan sanitasi keluarga melalui metode Katajaga di berbagai wilayah di Indonesia. Pengabdian dan kerja keras alumnus Fakultas Kedokteran Undip itu mendapat pengakuan dan sejumlah penghargaan. Salah satunya dari Yayasan Damandiri yang dipimpin mantan Menteri Kependudukan/ Kepala BKKBN Haryono Suyono atas kiprahnya di bidang kemanusiaan. (Muhammad Syukron- 71)