Kamis, 13 Januari 2011

Mas Dian MRE (ex Rtn Rotary Club Semarang Sentral)

Dari Feng Shui sampai Garis Tangan
Kompas, 6 Juni 2002
Oleh : SN Wargatjie

Disadur: Purnomo Iman Santoso
Buletin Rotary Club Semarang Bojong edisi minggu III & IV Januari 2011

BERAWAL dari penderitaan hidup semasa kecil,dia menjadi tertarik mencari makna hidup.Dia tertarik untuk mencari jawaban ,apa yang harus dia perbuat dalam hidupnya di dunia ini.Usahanya ini menuntun dirinya untuk mendalami budaya Timur Purba,terutama budaya Tiongkok purba yang memang sejak kecil menjadi perhatiannya.
“Nah,dalam upaya mendalami budaya Tiongkok purba,saya berkenalan dengan feng shui dan ilmu-ilmu Tiongkok purba lainnya seperti membaca garis tangan dan lain sebagainya,”kata Mas Dian MRE(46),pengamat dan konsultan feng shui dan ahli membaca garis tangan (shou xiang),ketika ditemui di rumahnya di Semarang akhir Mei lalu.Dia juga mempunya keahlian membaca wajah orang atau xiang mien.Selain secara tatap muka,Mas Dian juga melayani para kliennya lewat rubrik yang dia asuh di beberapa media cetak Jakarta dan Semarang.
Beberapa buku karyanya yang menyangkut keahliaannya ini sudah diterbitkan,antara lain Logika Feng Shui jilid 1-3(sudah cetakan keempat),30 Penjabaran dan Pembenahan Feng Shui Interior(cetakan ke empat), 30 Penjabaran dan Pembenahan Feng Shui Exterior(cetakan ke empat),Cara Mudah Membaca Garis Tangan/Palmistri(cetakan Kedua),serta Cara Mudah Membaca dan Menganalisa Wajah/Fisionomi.Bukunya yang terbaru dalam tahun 2002 ini adalah Pengaruh Warna dalam Fengshui.Selain itu ,Mas Dian juga menulis almanak Tong Shu dalam bahasa Indonesia(1997-2002).

***
Mas Dian sendiri lahir di Solo tanggal 15 Desember 1956,di bawah naungan shio Kera Api.Suami Shelvirawaty ini mempunyai nama lengkap Dian Setyawan.Sebutan “Mas Dian” adalah nama populernya sebagai pengamat dan konsultan feng shui.
Anak kelima dari tujuh anak pasangan suami-istri Siek Djang Gang dan Ang Ay Nio ini mengaku hidupnya menderita semasa kecil.Ayahnya meninggal semasa dia berusia satu setengah tahun.Kemudian,ayah tirinya,seorang pedagang,bangkrut dalam suasana ekonomi nasional yang terpuruk kala itu.
Dalam pergumulan dengan penderitaan ,Mas Dian berusaha mencari makna hidup dengan mempelajari budaya Timur purba, terutama Tiongkok purba.Dalam penggembaraannya di dunia budaya Tiongkok purba inilah,dia berkenalan dengan ilmu feng shui.Dalam usaha mencari tahu lebih jauh mengenai ilmu tersebut,Mas Dian sempat menghubungi beberapa orang yang oleh awam disebut-sebut sebagai “suhu hong sui”atau “orang pintar hong sui”(Hong sui adalah dialek Hokkian untuk feng shui).Dalam pengalamannya,dia sempat minta nasihat salah seorang suhu hong sui ketika dia ingin melakukan renovasi rumahnya.Nasehat yang ia terima,ternyata membingungkan belaka.
“Sang suhu melarang jangan bangun ini di sini,jangan membangun itu di situ,dan sebagainya.Dia mengatakan rumah ini akan membawa kematian kalau petunjuk-petunjuknya itu tidak dilaksanakan.Tetapi dia tidak memberikan solusi,bagaimana yang baik,sehingga saya jadi bingung dan tidak puas,”ceritanya.
Dari pengalaman seperti itu yang ternyata juga dialami beberapa orang lain,ia berkesimpulan banyak orang yang mengaku sebagai ahli hong sui ternyata bukanlah ahli yang sebenarnya.
“Mereka berlatar belakang persuhuan,yang mengaku serba pandai dari masalah pengobatan orang sakit sampai pada pencarian jodoh.Mereka tahu sedikit tentang hong sui dari hasil dengar sana dengar sini yang lalu mereka reka-reka sendiri,”ujar Mas Dian.
“Ulah para suhu hong sui itu menimbulkan kesenjangan antara masyarakat dengan ilmu hong sui atau feng shui,sehingga ada sebagian masyarakat menganggap hong sui atau feng shui sebagai sesuatu yang mistik,padahal hong sui atau feng shui itu ilmunya adalah logika,”tambahnya

***

RASA tidak puasnya terhadap ulah para suhu yang mengaku ahli hong sui mendorong Mas Dian untuk mendalami ilmu feng shui itu sendiri langsung dari sumbernya,yaitu budaya Tiongkok purba.Usaha ini didukung dengan kepandaiannya berbahasa Mandarin,baik lisan maupun tulis.Naskah-naskah ilmu feng shui dalam bahasa Mandarin dia lalap habis.
Agar tidak terjebak pada praktik-praktik persuhuan,Mas Dian tidak demikian saja menelan mentah-mentah pengetahuan feng shui yang dia peroleh dari naskah-naskah berbahasa Mandarin tersebut.Dia mengolah pengetahuan tersebut dengan melakukan suatu penelitian terhadap hasil implementasi dari teori-teori tersebut.
“Jadi,pengetahuan teoretis yang saya peroleh dari naskah-naskah tersebut saya implementasikan dalam praktik pada sejumlah kasus.Nah,dari hasil implementasi ini saya jadi tahu mana yang betul,mana yang salah dan sebagainya sehingga saya memperoleh pengetahuan empiris.Memang kebenarannya tidak bisa mutlak,karena saya percaya yang mutlak itu milik Tuhan.Kalau mencapai 70 persen benar,itu sudah cukup empiris sekali.Lalu,pengalaman itu saya tulis dan akhirnya menjadi buku-buku,”ujar Mas Dian,yang mulai serius mempelajari feng shui secara otodidak sejak tahun 1986.
“MRE” di belakang namanya adalah gelar “Master of Real Estate” yang dia peroleh setelah belajar 1,5 tahun pada sebuah perguruan dari Australia yang membuka cabangnya di Semarang pada tahun 1998.Katanya,”Pengetahuan yang saya peroleh dari perguruan tersebut baik sekali ,sehingga saya memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai pengelolaan real estate sampai pada managemen pemasarannya.Pengetahuan yang saya peroleh di perguruan tersebut membuat saya pandai membaca dan membuat denah,sehingga saya bisa memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai denah-denah bangunan yang sesuai perhitungan feng shui .”

***

TERLANJUR terkenal sebagai konsultan feng shui di media-media cetak,banyak peristiwa lucu yang terjadi ketika Mas Dian melayani kliennya secara tatap muka di tempat-tempat praktiknya di Semarang dan di Jakarta.Peristiwa lucu ini akibat persepsi keliru kliennya yang memperkirakan akan berhadapan dengan dirinya,sebagai seorang yang berusia lanjut dengan kumis-jenggot lebat.
“Ketika dia mendapati diri saya masih muda,waktu itu saya berusia sekitar 37 tahun ketika mulai membuka praktik konsultasi feng shui,wajah klien saya itu menampakkan kekecewaannya.Pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan lalu terasa kurang mantap.Orang tersebut merasa kurang sreg,”ungkap Mas Dian,yang membuka praktik sebagai konsultan feng shui sejak tahun 1993.
Selama sembilan tahun sejak tahun 1993 sampai sekarang,sebagai pengamat dan konsultan feng shui,Mas Dian sudah berhasil menyelesaikan lebih dari 10.000 kasus yang diajukan para kliennya yang berasal dari pelbagai daerah di Indonesia,bahkan ada yang berada di Singapura,Hongkong, dan Taiwan.”Hal ini tidak usah mengherankan,karena saya mengasuh rubrik feng shui pada lebih dari satu media cetak di Indonesia.Dan, kebetulan rubrik yang saya asuh itu juga dibaca dan diminati oleh orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri,”kata Mas Dian dengan tersenyum kecil.
Ayah dari Wenny(21),Ivon(18),dan Yessica(15) ini kian semakin sibuk melayani para kliennya di Jakarta dan di Semarang.Setiap Selasa sampai Sabtu dalam pekan pertama dan ketiga dia membuka praktik konsultasi di Jakarta,sedangkan di Semarang setiap Selasa dan Jumat sore pada pekan kedua dan keempat

Kamis, 06 Januari 2011

Irwan Hidayat -Friend of Rotary Club Semarang Bojong

Irwan Hidayat dan Industri Jamu
Oleh: Windoro Adi
Kompas 12 April 2001

Disadur: Purnomo Iman Santoso ,
Buletin RC Semarang Bojong Edisi Minggu II Januari 2011

Dari 28 tahun karier saya,tiga perempat bagian diantaranya saya lalui dengan kesalahan,”kata Irwan Hidayat(53),bos Jamu Sido Muncul yang baru-baru ini “mau” menerima penghargaan dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia(Kehati).
Dia mengungkapkan hal itu setahun lalu,di salah satu sudut Kota Semarang,Jawa Tengah,di suatu malam di Jalan Mataram, di warung kaki lima “Es Marem”.Sang istri,Maria Shinta Eko Putri Sudjarwo,sibuk memesan minuman kegemaran suami:es campur tape,kelapa muda,kolang-kaling,kacang,dan coklat.
Di tempat-tempat sederhana seperti inilah Irwan biasa berbincang-bincang dengan keluarga,kawan kerja,atau kawan bermainnya.”Dulu saya bisa berjam-jam duduk-duduk di tempat seperti ini dari pukul 20.00.Sekarang paling Cuma sampai pukul 23.00,” jelas pria kelahiran Yogyakarta,23 April 1947.
Bagi Irwan,di tempat-tempat seperti itulah dia bebas berbuka hati dan berkeluh kesah dengan anggota keluarga atau kawan-kawannya.Bukan Cuma itu,”Di tempat-tempat seperti inilah lahir banyak gagasan atau masukkan baik dari kawan-kawan,keluarga,atau dari saya sendiri yang di kemudian hari ternyata membuat hidup kami menjadi jauh lebih baik,” tutur salah satu Ketua Gabungan Pengusaha Jamu itu.
Gagasan tentang pendirian pabrik bahan baku jamu dan pabrik jamu,gagasan tentang berbagai kegiatan,tentang terobosan di industri jamu,tentang bus-bus mudik gratis buat para penjual jamu di Jakarta,tentang masa depan Indonesia ala para bakul jamu… semua lahir di tempat-tempat sederhana seperti ini.


Awalnya,putra mendiang pendiri Jamu Sido Muncul,Ny Rahmad Sulistio ini,terlibat dalam industri rumah tangga jamu neneknya karena terpaksa.”Lulus SMA nggak punya pekerjaan.Ya sudah,numbuk jamu saja tiap hari.Rasanya bosan,ingin cepat meninggalkan pekerjaan itu ,”jelas jebolan Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu.
Dia tidak pernah menyangka industri jamunya akan menjadi besar,bahkan ketika tahun 1969 ayah dua anak ini jadi bulan-bulanan penyakit.Dua pekan sembuh dari tifus,terjangkit lagi dan terkapar di Rumah sakit(RS) Elizabeth,Semarang,selama 14 bulan.
Berat badannya tinggal 32 kilogram,dan masih harus melanjutkan istirahat di RS Telaga Reja,Semarang.Demamnya tinggi,disusul infeksi paru-paru,ginjal,darah tinggi, dan kencing manis.
“Delapan bulan terbaring di RS Telaga Reja membuat saya trauma melihat RS atau mendengar orang-orang membicarakan penyakit.Tetapi,penderitaan inilah yang membuat saya berhenti merokok,”ujar Irwan yang dulu setiap harinya menghabiskan enam bungkus rokok kretek itu.
Setelah rangkaian sakitnya sembuh,hidupnya menjadi kain dekat dengan orang-orang desa.Sikapnya pun menjadi lebih bijak menanggapi banyak pengalaman.Tahun 1974 misalnya,perusahaan Sido Muncul terbelit utang,sementara penjualan surut.Pada saat-saat sulit seperti itulah ibunya justru setia bekerja keras dan berdoa mendampingi anak-anaknya mengelola perusahaan.Ketika hal serupa terjadi lagi tahun 1988,sang ibu kembali berbuat sama.
Satu saat,Irwan dan saudara-saudaranya mendesak ibunya beristirahat dan tidak lagi bekerja.Tetapi jawaban sang ibu,”Yo wis,yen aku wis ora mbok butuhake,urusana kana.( Ya sudah,kalau aku tidak kalian butuhkan lagi,silakan urus perusahaan ini).”
Setelah diistirahatkan,kondisi fisik dan psikis ibunya merosot drastis.Irwan dan saudara-saudaranya pun buru-buru melibatkan ibunya lagi dalam perusahaan.
“Saya baru sadar,ternyata orang menjadi sangat miskin ketika merasa tidak dicintai lagi,tidak dibutuhkan lagi,tidak berarti lagi.Ternyata niat baik kami salah.Pengalaman ini yang membuat saya berani mengatakan,saya bisa meniti karier saya ke puncak bukan karena saya pintar,tetapi karena saya mempunyai ibu yang baik,terutama pada saat sulit,”tutur Irwan.


Pengalaman kehadiran ibunya pada saat-saat sulit membuat Irwan menetapkan kepada seluruh pengelola perusahaannya bahwa “kehadiran pemimpin di saat-saat sulit,wajib hukumnya”.”Selain itu,setiap pemimpin di perusahaan kami harus selalu mampu memberi kontribusi terbanyak,solusi terbanyak,menjadi tempat orang banyak bertanya,dan terlibat lebih banyak,” katanya.
Dia mengatakan,di perusahaannya,untuk menjadi pemimpin,seseorang tak harus meniti jenjang karier ala pegawai negeri.”kalau ada orang baru di perusahaan yang bisa menunjukkan kelima hal tadi ,dia bisa saja lompat jabatan meninggalkan seniornya,” ucap Irwan.
Dengan pola kepemimpinan seperti itulah Irwan dan saudara-saudaranya mengibarkan bendera perusahaannya pada dekade 1990-an.”Saya akui,tahun 1960-an adalah milik Jamu Jago,tahun 1970-1980-an milik Jamu Air Mancur,dan tahun 1990-an lalu saya kira menjadi milik Jamu Sido Muncul.Entah tahun 2000-an ini,”ujarnya.
Meski demikian dia belum puas dengan industri jamu saat ini.Menurut dia,dibandingkan industri farmasi,industri jamu masih jauh tertinggal.Perhatian pemerintah pun masih minim dibanding misalnya perhatian terhadap industri batik.”Kalau kemeja batik bisa dipakai para pemimpin Negara,mengapa pemerintah tidak mencoba misalnya menjadikan jamu sebagai minuman kenegaraan?”tuturnya.
Irwan memperkirakan ,bila kondisi industri jamu masih seperti sekarang,bukan hal yang mustahil bila 10 tahun lagi industri jamu lenyap dari Tanah Air.
“Bayangkan,kalau industri farmasi punya jaringan pabrik bahan baku,pendidikan formal,rumah sakit,pabrik farmasi,distribusi sampai pengecer atau apotek,maka industri jamu mengelola semuanya itu sendiri.Itu kita belum menghitung soal modal.Kalau industri farmasi bisa sangat besar modalnya karena adanya modal asing,industri jamu tidak,”ujarnya.
“Sekarang industri jamu bukan saja menghadapi banyak kendala dan kurangnya dukungan pemerintah,tetapi juga semakin gencarnya produk industri farmasi yang masuk ke pasar produk industri jamu,” lanjutnya
Irwan mengatakan ,industri jamu di Indonesia masih kurang dukungan tenaga paramedis terutama dokter dan farmakolog.Padahal di Cina,setahun setelah seseorang menamatkan kuliah kedokterannya,mereka masih harus mengikuti praktik PENGOBATAN ALTERNATIF.Jadi tak heran bila banyak dokter di Cina menawarkan pengobatan alternatif selain pengobatan cara Barat.


IRWAN sangat yakin bahwa industri jamu secara ekonomis efektif untuk meredam pengangguran di kalangan masyarakat menengah ke bawah,sementara di sisi lain bisa menghemat devisa Negara dibanding produk farmasi Barat.”Saya jamin produk jamu legal secara medis pun bisa dipertanggungjawabkan,”tandasnya.
“Saya ingin mendirikan klinik pengobatan terpadu di lokasi pabrik ini .Di tempat ini pula saya masih bermimpi membangun perpustakaan umum yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan jamu,tusuk jarum,pijat,dan self meditation," jelasnya.
Dia mengingatkan ,hanya lewat kemajuan industri jamulah bangsa Indonesia bisa meredam praktik pengobatan mahal yang konsumtif dan manipulatif.”Saya percaya ,hanya sedikit orang yang tahu bahwa daun alang-alang bisa menjadi obat buang air kecil,menghambat agregasi trombosit sehingga melancarkan aliran darah.Kalau banyak orang tahu kegunaan daun alang-alang dan bisa mengolahnya,mengapa orang harus menguras kantung untuk membeli obat mahal?Coba kalau mereka bisa berhemat lebih banyak,kan uangnya bisa untuk membangun sekolah?” tutur pria yang cukup minum jamu tolak angin produk perusahaannya sendiri ketika masuk angin itu.

Sabtu, 01 Januari 2011

In Memoriam Djamin Ceha - Rtn Rotary Club Semarang Bojong

Bekas Kernet “Menjajah” Amerika
oleh JA Noertjahyo, Kompas 11 Oktober 1991

Disadur : Purnomo Iman Santoso,
Buletin RC Semarang Bojong Edisi Minggu III Desember 2010

LEMBARAN hidupnya dimulai dengan predikat anak yatim.Pada usia sekitar 15 tahun sudah harus menjadi kernet,kemudian “naik pangkat” menjadi sopir opelet.Lalu bekerja di sebuah perusahaan swasta,sambil mengikuti kursus bahasa dan tata buku.Meski gaji dan masa depannya di perusahaan itu cukup baik,ternyata ia tak kerasan.Gejolak jiwanya untuk mandiri-berwiraswasta-tak tertahankan .Bertahun-tahun ia menjadi bos usaha angkutan,lalu bergerak di bidang real estate di Semarang.Sementara pihak menjuluki sebagai “raja” real estate Jawa Tengah,yang kemudian tangan usahanya mampu menjamah 140 hektar tanah di Los Angeles,Amerika Serikat.Dan tanah di USA yang menjadi “jajahan” bekas kernet dari Semarang itu bernama Asco Golden Land Inc.
Kernet yang kini menjadi pengusaha besar itu adalah Djamin Ceha(68 tahun)alias Tjoe Tek Hoei.
Dia sering disebut sebagai perintis KPR(kredit perumahan rakyat)dan pengusaha swasta pertama yang berani membuka usaha di bidang LIK(lingkungan industri kecil).Dan saat ini dia sedang getol mewujudkan gagasan “gila”nya ,program TSI(transmigrasi swakarsa industri).Ia mengaku sudah mendapat izin untuk mendirikan TSI di 7 propinsi.Yaitu di Palembang,Kalsel,Kalteng, Kalbar,Kaltim,Sulteng,dan Irian Jaya.
“Untuk maju harus dicari terobosan-terobosan,”kata Djamin Ceha mengomentari berbagai pendapat yang menuduh bentuk usaha bisnisnya sebagai tindakan gambling,tak masuk akal,ataupun “bisnis gila” .Tuduhan semacam itu muncul terutama dari kelompok yang berpola usaha konvensional.”Sedangkan bisnis saya termasuk inkonvensional,”tambahnya.
Lelaki jangkung yang semua rambutnya telah memutih itu mengakui ,ada landasan idealisme dalam berbisnis.Ini masih diacu dengan penglihatan bisnis jauh ke depan,yang tak bisa dilihat semua orang.”Sebab terlalu pagi untuk zamannya,di samping perlu naluri bisnis untuk bisa melihatnya,’ ujar Djamin.


Naluri bisnis dan pandangan jauh ke depan itu setidaknya memang dilihat dari pelaksanaan KPR dan LIK swasta yang dirintis Djamin Ceha.Namun penglihatan kita baru gamblang dua-tiga tahun kemudian,atau lebih lama lagi.Di titik awalnya hampir semua kita sulit bisa mengerti ,bahkan bayangan samar-samar pun sulit muncul.
Di tahun 1975 Djamin membangun 200 rumah di Semarang.Perusahaannya ,PT Tanah Mas ,saat itu sulit menjual secara kontan semua rumah yang dibangunnya itu.Lalu diambil langkah baru,menjual rumah secara kredit dengan waktu angsuran 5-20 tahun.Pengusaha real estate lain kaget,sebagian mencemooh,mencaci atau menuduh Djamin Ceha menjalankan “bisnis gila” .
Tapi setahun kemudian idenya tentang KPR itu bisa diterima BTN(Bank Tabungan Negara),sehingga akhirnya popular istilah KPR-BTN.
Berhasilnya langkah awal tersebut mendorong Djamin Ceha untuk terus berkreasi dan bekerja keras.Dan hasilnya,di Semarang saja selain real estate di atas,ia mempunya LIK(lingkungan industri kecil) PT Tanah Makmur seluas 100 hektar,PT Tanah Mas Duaja untuk kota satelit Semarang seluas 300 hektar,serta PT Tanah Mas Baruna yang membangun tempat rekreasi pantai seluas 60 hektar.
Di Cilacap,Djamin Ceha mempunyai PT Kali Donan yang membangun 250 rumah dan 250 ruko,dan satu real estate lagi di USA seperti tersebut diatas.
“Untuk kredibilitas usaha,sekaligus menghimpun dana di luar negeri,”ujar Tony Djamin,putra ketujuh Djamin Ceha,mengomentari tujuan usaha ayahnya di Amerika Serikat itu.
Tentang berbagai ide baru yang dimunculkannya,menurut pengakuan Djamin,timbul akibat tekanan situasi dengan latar belakang berbagai pengalaman yang diterimanya.Misalnya,tentang KPR.Saat itu bank menentukan angsuran kredit paling tinggi 25 persen dari gaji,sehingga hanya pegawai negeri bergaji di atas Rp. 115.000/bulan yang mampu.Padahal betapa banyak pegawai negeri yang gajinya dibawah itu,dan justru sangat membutuhkan rumah.Setelah menghitung-hitung,Djamin yakin angsuran bisa dilakukan sampai 45-55 persen dari gaji si peminat.Konsep ini ia ajukan kemudian ke BTN,dan akhirnya diterima.Maka pegawai yang bergaji Rp. 60.000 pun dapat mengambil KPR-BTN.
“Keuntungannya,calon peminat KPR-BTN tambah banyak,sekaligus memberi kesempatan mereka yang gajinya kecil,”tuturnya.
Kerangka piker serupa juga melandasi usahanya di LIK Bugangan Baru yang dikelola PT Tanah Makmur.Saat dimulainya pembangunan LIK ini,tahun 1979/1980,tak ada pengusaha lain yang berminat menanganinya.Kebanyakan pengusaha menilai,usaha itu belum menjanjikan keuntungan.”tapi saya melihat jauh ,ini bisnis jangka panjang,”tutur Djamin Ceha yakin.Dan ternyata ,LIK ini bisa mencapai BEP setelah berjalan enam tahun lebih.
Ada kebanggaan tersendiri bagi Djamin .LIK itu merupakan LIK swasta yang pertama,dan sebagai pengusaha ia turut memberi kesempatan kepada pengusaha kecil untuk “diangkat”.Dan tak aneh jika LIK ini mendapat “Penghargaan Upakarti” dari Presiden tahun 1988.


Terobosan yang dilakukan Djamin Ceha rupanya tak berhenti pada KPR dan LIK swasta saja.Ia kini sedang getol menangani program TSI di 7 propinsi ,dengan proyek percontohannya LIK Lembah Palu Nagaya di Sulawesi Tengah.
Diakui oleh Djamin,kegiatan transmigrasi industri ini memang tak gampang .”Tujuh puluh lima persen memang idealisme,dan hanya 25 persen perhitungan bisnisnya,”tutur lelaki yang kini lebih banyak tampil dengan hem batik lengan panjang itu.Tapi ia yakin,jika dikelola secara profesional maka untuk jangka lima tahun pertama sudah bisa turn over.”Setelah lima tahun kedua terlampaui,sudah bisa mulai untung,”tambahnya
Besarnya tumpuan idealisme itu menuntut pelaksana yang punya idealisme pula.Karena itulah TSI banyak menampung sarjana yang baru lulus.Fresh from the university,menurut istilah Tony Djamin .Tercatat 16 sarjana yang baru lulus langsung bekerja di situ.Terdiri delapan sarjana hukum,empat insinyur,dan empat sarjana ekonomi.
TSI yang intinya berupa “transmigrasi industri” itu bertujuan memindahkan pengusaha yang memiliki modal,dengan tenaga terampilnya.Ide pokoknya berangkat dari anggapan ,bahwa di Jawa banyak tenaga terampil tapi kurang lahan dan bahan baku.Ini kebalikan dengan sikon di luar Jawa.Pengiriman bahan baku ke Jawa untuk diolah---kemudian dikirim kembali ke luar jawa atau diekspor---mengakibatkan terjadi ekonomi biaya tinggi.Untuk mengatasi masalah itu,sebaiknya memang didirikan banyak industri hilir di luar jawa.Bagi pengusa,program itu masih menguntungkan.dan secara nasional akan memberi sumbangan yang sangat besar dalam pembangunan kita.Sebab secara otomatis sekaligus terjadi tranformasi penduduk,ilmu dan teknologi,investasi,memacu pertumbuhan ekonomi dan pusat-pusat industri di luar jawa,dan membuka lapangan kerja.
Pola TSI yang merupakan kerjasama antar swasta dengan instansi pemerintah(Departemen Transmigrasi dan Industri,serta Pemda setempat )itu sangat membantu pengusaha yang ingin meluaskan usahanya di Luar Jawa.Terutama dalam hal perijinan penyediaan tempat tinggal dan tempat usaha,yang semuanya sudah diurus developer TSI.
Untuk TSI di Palu misalnya,pengusaha akan mendapatkan paket terdiri dari tempat kerja 70 meter persegi,rumah tinggal (30 m2),biaya transport dari tempat asal ke lokasi LIK Palu,perizinan(usaha,industri,IMB,HO,sertipikat tanah,listrik dan air bersih),jaminan untuk lauk pauk selama 6 bulan ,dan dukungan usaha dari Pemda setempat.Tenaga kerja terampil yang dibawanya pun akan diberi tempat tinggal seluas 30 m2 diatas tanah 300m2.
Untuk itu semua,pengusaha bersangkutan hanya membayar Rp.1,5 juta untuk uang muka bangunan usahanya.Malahan mungkin sekali uang muka itu bisa mendapat bantuan dari instansi terkait sehingga lebih ringan beban yang harus dipikul pengusaha.
Program TSI memang sedang dirintis,dan hasilnya baru akan terlihat berapa tahun lagi .Yang jelas program ini merupakan upaya terobosan baru dalam pembangunan ,khususnya di bidang transmigrasi dan industri .Dan di balik program itu bergelimang manusia yang bernama Djamin Ceha.

IN MEMORIAM DJAMIN CEHA - Rtn Rotary Club Semarang Bojong